Peran menjaga stabilitas hukum terganggu atas tiadanya peran serta langsung oleh pemerintah. Pemerintah sebagai lembaga negara seharusnya menjunjung tinggi akan martabat hukum dan hak asasi manusia terkait problematika hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan. Kasus hubungan industrial di Indonesia bukan hal yang baru, seakan-akan menjadi hari raya nasional setiap MayDay diperingati. Tentunya ini menjadi tugas rumah yang harus dipenuhi pemerintah terkait hak atas pekerjaan dan upah yang layak.
Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Kampar (Disnaker Kampar) yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah
di daerah seharusnya mengerti betul atas tugas dan kewajibannya sebagai
eksekutif. Tugas menjalan peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi
Disnaker Kampar menjadi percontohan dan mengayomi setiap tindak pelanggaran
amanat undang-undang. Beberapa banyak laporan terkait kasus hubungan industrial
seharusnya menjadi cerminan bagaimana kinerja lembaga pemerintahan. Keluhan
para buruh akan menuntut haknya pupus sudah akibat tiada respon dan tanggapan
Disnaker Kampar. Terkesan bahwa laporan mereka diabaikan menjadi para buruh
putus asa. Tiada jalan lain yang ditempuh karna secara
garis besar, tekhnis penanganan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
telah diatur dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, UU Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Kepmenaker Nomor
Kep. 15A/MEN/1994 tentang Petunjuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan
Pemerantaraan.
Upaya
dalam menyelesaikan kasus perselisihan hubungan industrial mewajibkan adanya
upaya mediasi berupa bipartit, tripartit, dan terakhir ke pengadilan hubungan
industrial. Amanat dalam hukum acara pengadilan hubungan industrial untuk
menyadur risalah anjuran terkait mediasi yang tidak tercapai kata sepakat oleh
Disnaker adalah prosedur yang harus ditempuh oleh para buruh. Tetapi jika
lembaga pemerintah saja menyepelekan peraturan bagaimana hukum bisa ditegakkan.
Pandangan Hukum
Di Indonesia Hubungan
Industrial (Industrial Relation) merupakan hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam produksi barang/jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945 (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 Tentang
Ketenagakerjaan). Dalam proses produksi diperusahaan pihak-pihak yang terlibat
secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah
termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan
untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan
suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan
mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan
seluruh lapisan masyarakat.
Peran pemerintah dalam
hubungan industrial ini diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan,
peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh para pihak, serta
mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga dapat berjalan secara
efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan industrial. Dengan
demikian, kepentingan pemerintah dalam hubungan industrial adalah menjamin
keberlangsungan proses produksi secara lebih luas, sedangkan bagi pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan industrial
berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban
demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasinya secara demokratis,
mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya, kemudian
pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai
fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja,
dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan.
Hubungan kerja antara
pekerja dengan majikan sesungguhnya adalah hubungan perdata yang didasarkan
pada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mendapatkan hak dan menjalankan
kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban tersebut tertuang dalam perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis atau lisan. Dalam perjanjian kerja tersebut
harus secara jelas mengatur jam dan waktu kerja, besarnya upah, upah lembur,
pelindungan kesehatan, dan sebagainya. Juga diatur tentang hak dan kewajiban
pekerja serta hak dan kewajiban pengusaha bila hubungan kerja berakhir atau
diakhiri oleh salah satu pihak. Persoalan yang paling sering muncul selain
konflik menyangkut upah juga masalah kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ada beberapa komponen kompensasi PHK yaitu :
1. Uang
Pesangon.
2. Uang
Penghargaan Masa Kerja.
3. Uang
Penggantian Hak.
4. Uang
Pisah.
Menurut Undang-Undang
No.2 Tahun 2004, ayat (6 dan 7) menjelaskan pengertian Pengusaha dan Perusahaan
yaitu:
1. Pengusaha
(Ayat 6) adalah:
a. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
b. suatu
perusahaan milik sendiri.
c. Orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
d. sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
e. Orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
f. Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan
g. (b)
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
2. Perusahaan
(Ayat 7) Adalah:
a. Setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
b. Usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sedangkan menurut
Undang-Undang No.2 Tahun 2004 ayat (8 dan 9) menjelaskan pengertian dari
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan pengertian dari pekerja/buruh yaitu:
1. Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (ayat 8)
Organisasi
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun
diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya;
2. Pekerja/Buruh
(ayat 9)
Setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Menurut Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004, Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa perselisihan Hubungan
Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
A.
Peran
dan Fungsi Mediator dalam Proses Mediasi Hubungan Industrial
Menurut Undang-Undang
RI Nomor 2 Tahun 2004, pasal 1 angka 11 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut
mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Susanti Adi Nugroho
dalam bukunya “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (2009:141),
tertulis bahwa mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yaitu
suatu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak
memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh
kesepakatan yang memuaskan”.
Menurut Undang-Undang
RI Nomor 2 Tahun 2004, pasal 1 angka 12 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
ILO (International
Labour Organization) “Pedoman Kerja Mediator, Konsiliator dan Arbiter
Hubungan Industrial (2006:67) menjelaskan Mediator adalah seseorang yang
bertindak sebagai pihak ketiga yang netral membantu penyelesaian perselisihan
secara sukarela”. Dibanyak negara, pihak ketiga tersebut seringkali adalah
pejabat pemerintah yang berfungsi sebagai seorang mediator dalam kapasitas
perorangan. Sering dikatakan bahwa mediasi pada dasarnya adalah pekerja satu
orang.
Lalu Husni, dalam
bukunya “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan
Di Luar Pengadilan (2004) menjelaskan bahwa Mediator adalah pegawai pada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dan yang menjadi
mediator adalah siapa saja yang dikehendaki oleh para pihak yang memiliki
keahlian dan kemampuan”. Untuk itu termasuk kemungkinan dipilihnya pegawai pada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Sedangkan kewajiban
mediator untuk memberikan anjuran tertulis masih dalam batas kewenangan
mediator, guna membantu para pihak mencari format penyelesaian serta anjuran
tersebut bukan merupakan keputusan yang bersifat mengikat.
Susanti Adi Nugroho,
dalam bukunya “Mediasi Sebagai AlternatifPenyelesaian Sengketa (2009) tertulis
bahwa Mediator adalah pegawai yang berada dikantor instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota”. Pada dasarnya mediator
berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan berkaitan dengan hal itu, maka
disamping harus dipenuhi persyaratan sebagai pegawai negeri sipil pada umumnya,
seseorang memungkinkan diangkat sebagai mediator bila ternyata memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Warga
Negara Indonesia.
3. Berbadan
sehat menurut surat keterangan dokter.
4. Menguasai
peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.
5. Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
6. Berpendidikan
sekurang-kurangnya Strata Satu (S1).
7. Syarat
lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Menurut Susanti Adi
Nugroho (2009:51) “Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah
yang membantu para pihak untuk menyelesaikan perselisihan/sengketa yang
dihadapinya”. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk membingkai
persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama.
Selain itu, juga guna menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator
harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan
penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus
dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama yang
mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan
yang saling berbeda, agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai
pangkal tolak pemecahan masalahnya.
Selanjutnya Gary
Goodpaster dalam Susanti Adi Nugroho (2009:52) mengemukakan bahwa “Peran
mediator menganalisis dan mendiagnosis atau sengketa tertentu dan kemudian
mendesain serta mengendalikan proses serta intervensi lain dengan tujuan
menuntun para pihak untuk mencapai suatu mufakat sehat”. Diagnosis sengketa
penting untuk membantu para pihak mencapai mufakat.
Peran penting Mediator
itu adalah :
1. Melakukan
diagnosis Konflik.
2. Identifikasi
masalah serta kepentingan-kepentingan kritis.
3. Menyusun
agenda perundingan.
4. Memperlancar
dan mengendalikan komunikasi.
5. Mengajar
para pihak dalam proses keterampilan tawar-menawar.
6. Membantu
para pihak mengumpulkan informasi penting.
7. Penyelesaian
masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan.
8. Diagnosis
sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
Menurut Fuller dalam
Takdir Rahmadi (2010:14) mediator memiliki beberapa fungsi, yaitu :
1. Katasilator,
yaitu diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif
bagi dialog atau komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni
menyebarkan terjadinya salah pengertian dan polarisasi diantara para pihak.
2. Pendidik,
yaitu berusaha memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan
politis, dan kendala usaha dari para pihak.
3. Sebagai
Penerjemah, yaitu mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan
pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak
didengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud dan sasaran yang
hendak dicapai oleh si pengusul.
4. Sebagai
Narasumber, yaitu mediator harus mampu mendayagunakan atau melipatgandakan
kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai
Penyandang Berita Jelek, yaitu mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam
proses perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus siap menerima
perkataan dan ungkapan yang tidak enak dan kasar dari salah satu pihak.
6. Sebagai
Agen Realitas, yaitu mediator harus memberitahu atau member pengertian secara
terus terang kepada satu atau para pihak, bahwa sasarannya tidak mungkin atau
tidak masuk akal untuk dicapai melalui sebuah proses perundingan.
7. Sebagai
Kambing Hitam, yaitu mediator harus siap menjadi pihak yang dipersalahkan
apabila orang-orang yang dimediasi tidak merasa sepenuhnya puas terhadap
prasyarat-prasyarat dalam kesepakatan.
B.
Analisis
Kasus
Disnaker Kampar dengan
berperan sebagai Katalisator, Pendidik, Penerjemah, Narasumber dan Agen
Realitas sesuai dengan peraturan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
dan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
yaitu sebagai berikut :
1.
Sebagai Katalisator dalam Proses Mediasi
Peran Disnaker Kampar
sebagai katalisator melalui mediator hubungan industrial adalah hal yang utama atau
hal dasar dalam menyelesaikan suatu kasus perselisihan hubungan kerja yaitu
bahwa Disnaker Kampar dalam bertindak sebagai katalisator, mengundang para
pihak yang berselisih untuk dapat menyelesaikan perselisihan secara musyawarah
dan berhasil membuat keadaan penyelesaian perselisihan dalam keadaan yang kondusif
dan tidak menimbulkan kesalahpahaman diantara para pihak yang berselisih.
Disnaker Kampar
menggunakan kemampuannya secara maksimal guna memberikan yang terbaik kepada
para pihak yang berselisih sehingga para pihak yang berselisih saat itu tidak
menimbulkan kesalahpahaman. Kedua belah pihak yang berselisih diberikan
kesempatan untuk mempresentasikan atau saling menjelaskan duduk persoalan yang
menjadi pokok sengketa mereka kepada mediator secara bergantian. Dimana tujuan
dari presentasi itu adalah untuk mendorong lahirnya suasana yang kondusif dan
tidak menimbulkan kesalahpahaman diantara para pihak.
2.
Sebagai Pendidik dalam Proses Mediasi
Disnaker Kampar dalam
menjalankan perannya sebagai pendidik, memahami betul apa yang dikehendaki oleh
pihak pekerja sebagai pihak pengadu terhadap perusahaan yang telah memberikan
PHK tanpa memberikan pesangon kepada pekerja saat itu, kemudian pihak Disnaker
Kampar mencoba memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang berselisih
untuk melakukan sebuah perundingan bipartit agar kedua belah pihak dapat
menemukan sebuah kesepakatan. Berhubung pada saat itu kedu belah pihak yang
berselisih tidak menemukan sebuah kesepakatan maka perundingan secara bipartit
di pandang gagal dan pihak Disnaker Kampar sebagai pihak ke-3 atau pihak
penengah yang netral melanjutkannya kepada tahap mediasi sesuai dengan prosedur
kerja untuk membantu menangani dan menyelesaikan perselisihan tersebut.
3.
Sebagai Penerjemah dalam Proses Mediasi
Disnaker Kampar dalam
berperan sebagai penerjemah atau sebagai penyampai pesan, sebelumnya meminta
pihak pekerja untuk menjelaskan pokok permasalahannya dan menjelaskan
selengkap-lengkapnya mengenai usulan-usulan apa saja yang pihak pekerja inginkan
dari pihak perusahaan, kemudian setelah usulan pihak pekerja diketahui dan
pihak Disnaker Kampar yang menangani bidang Hubungan Industrial pun telah mendapatkan
surat perintah tugas untuk membantu menangani dan menyelesaikan perselisihan
tersebut, barulah pihak Disnaker Kampar menyampaikan usulan tersebut kepada
pihak perusahaan dengan bahasa yang dapat diterima.
Pihak Disnaker Kampar
membantu para pihak membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang
perlu dihadapi secara bersama dan pihak Disnaker Kampar dapat mempertemukan
kepentingan-kepentingan yang saling berbeda, sebagai pembuka jalur komunikasi
kedua belah pihak yaitu menyampaikan kepada pihak perusahaan yang bersangkutan
mengenai apa yang menjadi usulan pihak pekerja sebagai pihak pengadu agar
mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan
masalahnya.
4.
Sebagai Narasumber dalam Proses Mediasi
Informasi adalah suatu
hal yang sangat penting dalam membantu menyelesaikan permasalah perselisihan
dibidang hubungan industrial tersebut, agar segala sesuatu hal yang dibutuhkan
pada saat mediasi yaitu pada waktu penyelesaian suatu masalah, hal-hal tersebut
dapat dijadikan landasan untuk menyelesaikan suatu masalah.
5.
Sebagai Agen Realitas dalam Proses Mediasi
Dalam hal ini, pihak Disnaker
Kampar sebagai pihak ke tiga yang netral dari kedua belah pihak yang berselisih
mencoba memberikan pemahaman atau melakukan negosiasi kepada pihak perusahaan
yang bersangkutan dan mediator membuatkan perjanjian bersamanya yang juga telah
ditandatangani oleh kedua belah pihak tanda terjadinya sebuah kesepakatan
bersama serta membuatkan laporan hasil mediasi penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan laporan perjalanan dinas yang berarti berakhirnya
perselisihan kedua belah pihak pada saat itu.
Peran Disnaker Kampar
sebagai agen realitas adalah peran yang menjadi tolak ukur suatu keberhasilan
dalam menyelesaikan kasus perselisihan hubungan kerja karena peran sebagai agen
realitas telah mampu memberikan pengertian kepada salah satu pihak bahwa
sasarannya tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dapat dicapai melalui
proses perundingan dan hal yang mereka putuskan dapat merugikan pihak lain.
Sehingga dengan menjalankan peran ini pihak pekerja dan pihak perusahaan dapat
menyelesaikan perselisihan yang terjadi secara musyawarah tanpa harus melalui
pengadilan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan inipun juga
berdasarkan atas keputusan bersama oleh para pihak dan para pihakpun
menandatangani surat perjanjian bersama dengan disaksikan oleh pihak
Disnakertrans Provinsi Riau sebagai pihak penengah dari pihak yang
bersengketa sesuai dengan prosedur kerja dan perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan
pada sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut bahwa Peran
Disnaker Kampar tidak berhasil dalam menyelesaikan kasus perselisihan hubungan
kerja secara optimal, secara adil dan sesuai dengan peraturan undang-undang
yang berlaku.
Rekomendasi
Melihat kenyataan dari
kesimpulan di atas, bahwa peran yang telah di jalankan oleh Disnaker Kampar
yang menangani urusan ketenagakerjaan tidak berjalan dengan baik, maka:
1. Penulis
menyarankan agar pihak Disnaker Kampar yang menangani dan menyelesaikan kasus
perselisihan hubungan industrial/hubungan kerja tersebut dapat melaksanakan
kewajibannya agar tujuan awal dibentuknya Disnaker Kampar sesuai dengan tujuan,
visi dan misi serta sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya untuk melindungi
dan memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh.
2. Dengan
adanya peran dan fungsi Disnaker Kampar sebagai agen realitas bagi para pihak
yang berselisih agar dapa ditingkatkan mengenai peran tersebut, karena peran
sebagai agen realitas sangat berpengaruh pada hasil akhir yang hendak dicapai
pada saat penyelesaian suatu masalah serta dapat dipergunakan pada penyelesaian
perselisihanperselisihan lainnya yang menyangkut masalah di bidang hubungan
industrial yang akan mendatang.
0 komentar :
Posting Komentar