Hukum perburuhan atau
ketenagakerjaan merupakan hukum yang mengatur hubungan kerja antara buruh/
tenaga kerja dengan pengusaha yang menghasilkan barang atau jasa dengan adanya
imbalan/upah. maka sudah seyogyanya hukum perburuhan ini lebih menjamin hak-hak
dasar (normatif) pekerja/ buruh tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Sebab, hubungan antara
pekerja dan buruh dengan pengusaha seringkali dihadapkan pada posisi yang tidak
seimbang.
Maka pemerintah menjadi
timbangan penyeimbang terhadap posisi buruh/ tenaga kerja yang sering lebih
lemah tersebut. Hal itu di akomodir dengan lahirnya paket undang-undang yang
mengakomodir kebutuhan buruh yang tak terakomodir di undang-undang sebelumnya. Maka
lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Serikat Buruh (UUSB),
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKT), Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industri (UUPPHI).
Namun tak jarang dijumpai
bahwa masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha terhadap hak-hak
buruh dan seikat buruh tersebut. Bahkan tak jarang di Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industri (PPHI) banyak putusan hakim yang tidak mengakomodir hak-hak
buruh bahkan hingga ke tingkat Mahkamah Agung sekalipun. Tentu ini menjadi
sesuatu yang tidak diharapkan disaat banyak pihak yang berharap lebih kepada
PPHI.
Hal tersebut di buktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta bersam Mappi FHUI yang
meneliti mengenai putusan-putusan Mahkamah Agung dalam ruang lingkup PPHI sejak
tahun 2006 hingga 2013.[1]
Dalam penelitian tersebut diketahui dari 2993 putusan Mahkamah Agung, sebanyak
2619 perkara kasasi dan 374 perkara peninjauan kembali. Dari 2619 permohonan
kasasi yang telah diajukan ke Mahkamah Agung yang terdiri dari 1427 (54%)
diajukan oleh pengusaha dan 1202 (46%) permohonan diajukan oleh buruh. Kemudian
untuk Peninjauan Kembali sebanyak 374 perkara, dari 374 perkara tersebut, 143
(39%) permohonan diajukan oleh buruh dan 221 (61%) permohonan diajukan oleh
pengusaha.
Melihat putusan yang diputus
oleh Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali (PK), didapat beberapa kesimpulan:
1. Tidak
tercapainya kepuasan atas putusan yang dikeluarkan oleh PPHI sehingga membuat
para pihak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan Peninjauan Kembali. Dari
data dapat dilihat bahwa pengusaha yang mendominasi pengajuan kasasi ke
Mahkamah Agung sebanyak 1427 dari 2619 permohonan. Bahwa disimpulkan bahwa
pengusaha yang mendominasi ketidak puasan atas putusan yang dikeluarkan oleh
PPHI.
2. Bahwa
selain tidak puasnya penguasaha terhadap putusan PPHI, pengusaha juga mempunyai
tujuan lain dalam mengajukan permohonan kasasi, yakni memperlama proses
perselisihan sehingga membuat para buruh yang tidak mempunyai dana yang besar
dan pengetahuan yang cukup kesulitan menghadapi permohonan di tingkat kasasi. Bahkan
pengusahapun juga bermaksud memperlama proses tersebut dengan jalan mengajukan
Peninjauan Kembali (PK).
Bahwa berdasarkan hal di atas,
dapat dilihat PPHI belum menjadi pemutus masalah para buruh yang murah, cepat
dan tepat. Apalagi di tinjau dari segi keefektifan waktu, sesuai UUPPHI
disebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk putusan hingga tingkat Mahkamah
Agung adalah 140 hari. Namun dalam prakteknya, dari 2993 putusan Mahkamah Agung
sejak 2006 hingga 2013, majelis hakim pada tingkat kasasi dan peninjauan
kembali di Mahkamah Agung mempunyai waktu dalam memutusa perkara paling cepat
34 hari dan yang paling lama diputus selama 2611 hari atau lebih kurang 7
tahun. Sedangkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan putusan
akhir sejak tanggal putusan pada tahap PHI adalah 383 hari (lebih dari 1
tahun).[2]
Bahwa sebanyak 2978 putusan
pada tingkat kasasi yang diteliti, terungkap bahwa pengusaha yang menjadi
pemohon kasasi sebanyak 1645 (55.24%). Dari 1645 permohonan, permohonan
pengusaha pada tingkat kasasi yang dikabulkan sebanyak 387 (23.53%), ditolak
sebanyak 1063 (64.62%) dan yang tidak dapat diterima (N.O) sebanyak 195 (11.85%).
Sedangkan buruh yang menjadi
pemohon pada tingkat kasasi sebayak 1332 putusan, permohonan kasasi buruh yang
di kabulkan sebanyak 286 (21.47%) permohonan ditolak sebanyak 865 (64.94%) dan
permohonan tidak dapat diterima (N.O) sebanyak 181 (13.59%).
Bahwa berdasarkan penelitian
tim LBH Jakarta dengan Mappi FHUI diambil kesimpulan bahwa buruh merupakan
pihak yang mayoritas mengajukan gugatan ke PPHI, yakni 2645 dari 2993 (88%) putusan
Mahkamah Agung. Dan sisanya 348 (12%) diajukan oleh pengusaha. Hal ini wajar
karena PPHI adalah wadah perjuangan buruh/pekerja untuk memenuhi haknya.
Bahwa meski banyak pihak buruh
yang dikablkan gugatannya di tingkat PPHI oleh majelis hakim, tetapi hal
tersebut belum memberikan rasa keadilan sehingga buruh tetap melakukan upaya
hukum ke tingkat kasasi, hal ini menunjukkan ketidakpuasan buruh akan putusan
hakim yang mengabulkan gugatannya. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya putusan
hakim yang mengabulkan sebagian. Bahkan dalam beberap putusan, terkadang
majelis hakim memutus hal yang bukan menjadi permasalahan inti dalam gugatan
atau hal yang tidak dimintakan dalam gugatan oleh buruh.
Namun sebaliknya upaya hukum
menjadi kesempatan pengusaha untuik mengulur-ulur proses penyelesaian
perselisihan hubungan industri. Pengusah menjadi pihak yang paling banyak
mengajukan permohonan kasasi, yaitu sebanyak 1427 dari 2619 putusan. Sedangkan pengusaha
juga menjadi pihak yang paling banyak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
(PK), yaitu 221 dari 374 putusan. Semakin lama proses penyelesain perselisihan
hubungan industri, buruh yang menduduki posisi subordinat akan semakin
terlanggar haknya. Dengan kondisi upah, kemampuan, dan ketahanan yang terbatas,
proses yang lama dan berbelit-belit akan berujung pada berlarut-larutnya pemenuhan
hak yang seharusnya diperoleh oleh buruh.
0 komentar :
Posting Komentar