LBH Pekanbaru YLBHI

Jalan Ahmad Yani II No 7 Kel. Pulau Karam, Sukajadi, Pekanbaru-Riau (28126)
Telp : 085100314324
e-mail : lbhpekanbaru.ylbhi@gmail.com
lbh.pekanbaru_ylbhi@yahoo.co.id
Home » » Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Oleh : Andi Wijaya

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana juga bertujuan untuk melindungi kepentingan perorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dari tindak yang sewenang-wenang dari pihak lain.[1] Hukum pidana terbagi atas dua, yakni hukum pidana materil (hukum pidana) dan hukum pidana formil (hukum acara pidana). Hukum pidana materil lebih kepada peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Hukum pidana korupsi merupakan salah satu hukum pidana khusus, dimana pengaturannya secara khusus baik materil dan formilnya. Hukum pidana korupsi merupakan hukum pidana yang bersumber dari undang-undang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana materil juga memuat hukum pidana formil. Kekhususan hukum pidana materil mengatur hal-hal tertentu secara khusus. Sedangkan diluar hal khusus tadi tetap berlaku hukum pidana sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK) mengatur bahwa subjek hukumnya adalah setiap orang, baik itu orang perorangan dan atau korporasi. Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau harta kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 ayat (1). Pengaturan yang demikian merupakan penyimpangan (lex specialis) atau pengkhususan terhadap subjek delik dalam KUHP.[2]
Akibat dari globalisasi yang tidak terbendung kejahatan pun merajalela tidak hanya bersifat konvensional tetapi in konvensional.[3] Kejahatan korupsi pun semakin merajalela, mengakar dan membudaya. Hampir setiap lapisan sisi pemerintahan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga kedua usaha. Ibaratkan penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk mengobatinya. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Di samping merugikan keuangan dan perekonomian bangsa, korupsi juga telah merampas hak-hak rakyat seperti hak ekonomi dan sosial.[4] Secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia.[5]
Berdasarkan survei Transparancy International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman meluncurkan Corruption Perception indeks (CPI), secara global menetapkan CPI Indonesia sebesar 3,2 pada tahun 2012. Indonesia menempatkan posisi 118 dari 176 negara yang diukur. Hal ini memberikan kenaikan yang tidak signifikan dari tahun 2011 dengan nilai 3,0 posisi 100 dari 183 negara. Survei ini masih menunjukkan Indonesia merupakan negara yang terkorup daripada negara-negara lain seperti Thailand (37), Malaysia (49), dan Singapura (87). Secara global, posisi yang tertinggi nyaris tidak adanya korupsi adalah Denmark (90), Filandia (90) dan Selandia Baru (90). Inkonsisten pemerintah dalam pemberantasan korupsi disebut-sebut sebagai faktor utama tidak terlepasnya Indonesia sebagai negara terkorup.[6]
Kejahatan korupsi dianggap sebagai extra erdinary crime, exploiting a conflict interest, insider trading, karena memanfaatkan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan atau kelompok yang bersifat illegal. Dalam fenomena yang terjadi di Indonesia korupsi sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan yang jelas terhadap tindak pidana korporasi dalam hal tindak pidana korupsi di Indonesia, sehingga dapat menjerat korporasi untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan.
Pada dasarnya UUPTPK menambahkan subjek hukum pidana tidak hanya manusia atau orang perorangan tetapi korporasi. Hal tersebut memuat dalam Pasal ayat (1) sebagaimana mengatur tambahan subjek hukum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “Setiap orang adalah orang perorangan dan atau termasuk korporasi”.
Hal ini merupakan perkembangan baru yang diatur dalam undang-undang ini adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi, ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[7]
Sebagaimana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi kewenangan penuh kepada Jaksa dan Hakim untuk menuntut dan menvonis korporasi dengan hukuman pidana tambahan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, yang termuat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c sebagaimana mengatur perbuatan atau tindak pidana yang diatur dalam UUPTPK yang berbunyi : “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
1.      Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
2.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3.      Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
4.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana”.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.[8] Pasal 18 ayat (1) huruf c tersebut untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana masih dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup.[9]
Meskipun pengaturan pertanggungjawaban korporasi terhadap perkara tindak pidana korupsi termuat dalam UUPTPK, faktanya dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, hanya sekali saja putusan terhadap korporasi yang di vonis oleh hakim yaitu terhadap perkara kasus korupsi yang dilakukan oleh PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentral Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011 tanggal 04 Januari 2011. Dalam putusan, PT Giri Jaladhi Wana di hukum membayar Rp 1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan.[10] Dan yang terbaru Kejagung menetapkan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi adalah Indosat dan IM3 sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor 01/f.2/fd.1/01/2013 tanggal 3 Januari 2013.[11]
Faktor-faktor pendorong terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi adalah sikap korporasi dan badan-badan peradilan yang tidak memandang pelanggaran-pelanggaran oleh korporasi sebagai “kejahatan atau penjahat”, dan mengejar keuntungan dengan cara yang efektif dan sebanyak-banyaknya, memperoleh izin yang lebih cepat, pelaksanaan undang-undang yang lemah, dan yang terpenting kejahatan korporasi juga sangat dipengaruhi oleh system pemerintahan yang koruptif yang cenderung membuka peluang besar bagi pengurus dan atau pemilik korporasi memiliki niat untuk mencari keuntungan secara melawan hukum.[12]
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dilegalkan dan secara konsisten masih diterapkan di beberapa negara dan peraturan-peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi sebagai wujud keseriusan dalam memberantas korupsi sedangkan di negara Indonesia.[13]
Dari beberapa tindak pidana khusus yang mengatur pertanggungjawaban korporasi hanya tindak pidana korupsi yang belum maksimal menerapkan pemindanaan terhadap korporasi. Berdasarkan latar belakang diatas penulis menarik untuk meneliti dan menuangkan dalam skripsi dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.
 

0 komentar :