Oleh : Andi Wijaya
Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatakan bahwa
Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki beberapa macam hukum untuk
mengatur tindakan warga negaranya yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana
juga bertujuan untuk melindungi kepentingan perorangan atau hak asasi manusia
dan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dari tindak yang
sewenang-wenang dari pihak lain.[1]
Hukum pidana terbagi atas dua, yakni hukum pidana materil (hukum pidana) dan
hukum pidana formil (hukum acara
pidana). Hukum pidana materil lebih kepada peraturan hukum yang menunjukkan
perbuatan yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Hukum pidana korupsi
merupakan salah satu hukum pidana khusus, dimana pengaturannya secara khusus
baik materil dan formilnya. Hukum pidana korupsi merupakan hukum pidana yang
bersumber dari undang-undang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana
materil juga memuat hukum pidana formil. Kekhususan hukum pidana materil
mengatur hal-hal tertentu secara khusus. Sedangkan diluar hal khusus tadi tetap
berlaku hukum pidana sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UUPTPK) mengatur bahwa subjek hukumnya adalah setiap orang, baik itu
orang perorangan dan atau korporasi. Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang
dan atau harta kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum Pasal 1 ayat (1). Pengaturan yang demikian merupakan
penyimpangan (lex specialis) atau
pengkhususan terhadap subjek delik dalam KUHP.[2]
Akibat dari globalisasi yang tidak terbendung
kejahatan pun merajalela tidak hanya bersifat konvensional tetapi in konvensional.[3]
Kejahatan korupsi pun semakin merajalela, mengakar dan membudaya. Hampir setiap
lapisan sisi pemerintahan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga kedua
usaha. Ibaratkan penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis,
sehingga sangat sulit untuk mengobatinya. Korupsi tidak saja akan menggerus
struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap
sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Di samping merugikan keuangan
dan perekonomian bangsa, korupsi juga telah merampas hak-hak rakyat seperti hak
ekonomi dan sosial.[4]
Secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi
masyarakat bangsa Indonesia.[5]
Berdasarkan survei Transparancy International (TI) yang
berbasis di Berlin, Jerman meluncurkan Corruption
Perception indeks (CPI), secara global menetapkan CPI Indonesia sebesar 3,2
pada tahun 2012. Indonesia menempatkan posisi 118 dari 176 negara yang diukur.
Hal ini memberikan kenaikan yang tidak signifikan dari tahun 2011 dengan nilai
3,0 posisi 100 dari 183 negara. Survei ini masih menunjukkan Indonesia
merupakan negara yang terkorup daripada negara-negara lain seperti Thailand
(37), Malaysia (49), dan Singapura (87). Secara global, posisi yang tertinggi
nyaris tidak adanya korupsi adalah Denmark (90), Filandia (90) dan Selandia
Baru (90). Inkonsisten pemerintah dalam pemberantasan korupsi disebut-sebut sebagai
faktor utama tidak terlepasnya Indonesia sebagai negara terkorup.[6]
Kejahatan korupsi dianggap sebagai extra erdinary crime, exploiting a conflict
interest, insider trading, karena memanfaatkan
kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan atau
kelompok yang bersifat illegal. Dalam
fenomena yang terjadi di Indonesia korupsi sudah merupakan kolaborasi antara
pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Oleh sebab itu, diperlukan
pengaturan yang jelas terhadap tindak pidana korporasi dalam hal tindak pidana
korupsi di Indonesia, sehingga dapat menjerat korporasi untuk bertanggung jawab
terhadap perbuatan pidana yang dilakukan.
Pada dasarnya UUPTPK
menambahkan subjek hukum pidana tidak hanya manusia atau orang perorangan
tetapi korporasi. Hal tersebut memuat dalam Pasal ayat (1) sebagaimana mengatur
tambahan subjek hukum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang berbunyi : “Setiap orang adalah orang perorangan dan atau
termasuk korporasi”.
Hal ini merupakan
perkembangan baru yang diatur dalam undang-undang ini adalah korporasi sebagai
subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi, ini tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.[7]
Sebagaimana dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi kewenangan penuh
kepada Jaksa dan Hakim untuk menuntut dan menvonis korporasi dengan hukuman
pidana tambahan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, yang termuat dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf c sebagaimana mengatur perbuatan atau tindak pidana
yang diatur dalam UUPTPK yang berbunyi : “Selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah
:
1.
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
2. Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
4. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana”.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang dimaksud pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu
sesuai dengan putusan pengadilan.[8]
Pasal 18 ayat (1) huruf c
tersebut untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan tidak perlu
perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana masih dalam lingkungan usaha
dari perusahaan yang ditutup.[9]
Meskipun pengaturan
pertanggungjawaban korporasi terhadap perkara tindak pidana korupsi termuat dalam
UUPTPK, faktanya dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, hanya sekali
saja putusan terhadap korporasi yang di vonis oleh hakim yaitu terhadap perkara
kasus korupsi yang dilakukan oleh PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan
Pasar Sentral Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Putusan Nomor
04/PID.SUS/2011 tanggal 04 Januari 2011. Dalam putusan, PT Giri Jaladhi Wana di
hukum membayar Rp 1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama
enam bulan.[10]
Dan yang terbaru Kejagung menetapkan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi
adalah Indosat dan IM3 sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan
Nomor 01/f.2/fd.1/01/2013 tanggal 3 Januari 2013.[11]
Faktor-faktor
pendorong terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi adalah sikap
korporasi dan badan-badan peradilan yang tidak memandang
pelanggaran-pelanggaran oleh korporasi sebagai “kejahatan atau penjahat”, dan
mengejar keuntungan dengan cara yang efektif dan sebanyak-banyaknya, memperoleh
izin yang lebih cepat, pelaksanaan undang-undang yang lemah, dan yang
terpenting kejahatan korporasi juga sangat dipengaruhi oleh system pemerintahan
yang koruptif yang cenderung membuka peluang besar bagi pengurus dan atau
pemilik korporasi memiliki niat untuk mencari keuntungan secara melawan hukum.[12]
Berdasarkan uraian
diatas, menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam
perkara tindak pidana korupsi dilegalkan dan secara konsisten masih diterapkan
di beberapa negara dan peraturan-peraturan perundang-undangan di Indonesia
untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi sebagai wujud keseriusan dalam
memberantas korupsi sedangkan di negara Indonesia.[13]
Dari beberapa tindak
pidana khusus yang mengatur pertanggungjawaban korporasi hanya tindak pidana
korupsi yang belum maksimal menerapkan pemindanaan terhadap korporasi.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis menarik untuk meneliti dan menuangkan
dalam skripsi dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.
0 komentar :
Posting Komentar